Senin, 29 Desember 2014

THAHARAH DAN SHALAT

THAHARAH DAN SHALAT
1.      Pengertian Thaharah
       Thaharah adalah merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu amal ibadah, terutama dalam shalat, haji, dan sebagainya baik itu bersuci dari hadats kecil maupun bersuci dari hadats besar, karena setiap amal ibadah yang kurang salah satu syaratnya, maka amal ibadah itu kurang sempurna sahnya.
       Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata seperti aib dan dosa. Sedangkan pengertian thaharah secara terminologi syara’ berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.[1] Thaharah hukumnya wajib bagi setiap mukmin, Allah berfirman :
$pkšr'¯»tƒ ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ   óOè% öÉRr'sù ÇËÈ   y7­/uur ÷ŽÉi9s3sù ÇÌÈ   y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ 
Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah!. Dan pakaianmu bersihkanlah.”(Q.S. Al-Muddatstir: 1-4)
Dan dalam surah Al-Baqarah ayat 222
4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
        Begitulah pentingnya thaharah (bersuci) bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwasannya kebersihan (suci) adalah sebagian daripada iman.


a.       Macam-Macam Bersuci
       Sebelum mengerjakan ibadah kita diperintahkan untuk thaharah, bagian-bagian dari bersuci (thaharah) diantaranya yaitu:
1.      Istinja’ ialah membersihkan kubul dan dubur sesudah buang air kecil atau air besar dengan menggunakan air yang yang suci. Beristinja’ hukumnya wajib.
2.      Wudhu’ ialah membersihkan sebagian anggota badan tertentu untuk menghilangkan hadats kecil.
3.      Tayamum adalah bersuci sebagai pengganti wudhu dan mandi dengan mengusap muka dan kedua belah tangan dengan debu yang suci.
4.      Mandi adalah membasuh seluruh tubuh dengan air yang bersih mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seseorang wajib mandi untuk menghilangkan hadats besar seperti (haid, nifas, bersentubuh, dan lain sebagainya)
b.      Alat-Alat Untuk Bersuci
       Media atau alat untuk bersuci banyak sekali. Salah satunya adalah air dan debu. Media untuk bersuci yang akan dibahas kali ini adalah air. Air yang boleh digunakan untuk bersuci ialah air yang turun dari langit atau yang keluar dari bumi menurut sifat asalnya, seperti hitam, merah, putih, panas, dingin, dan lain-lain. Air yang turun dari langit dinamakan air hujan dan yang keluar dari bumi disebut mata air. Sedangkan air susu dan air kelapa tidak termasuk air yang dapat digunakan untuk bersuci.
       Dari segi hukumnya air terbagi menjadi empat macam yaitu:
1.      Air mutlak
       Air mutlak adalah air yang suci lagi mensucikan dan tidak makruh apabila dipakai untuk bersuci. Adapun yang termasuk kategori air mutlak antara lain sebagai berikut.
a.       Air hujan, salju, dan air embun
       Ayat yang mempertegas bahwa air  hujan, salju, dan embun adalah air yang suci adalah firman Allah sebagai berikut:
4 $uZø9tRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB #YqßgsÛ ÇÍÑÈ  
Artinya : dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (QS.Al-Furqan: 48)
Dan dalam surah lain Allah berfirman,
øç ãAÍit\ãƒur Nä3øn=tæ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB Nä.tÎdgsÜãÏj9 ¾ÏmÎ/ |ÇÊÊÈ  
Artinya : dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu...”(Al-Anfal: 11)
b.      Air Laut
       Merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., ia berkata: seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, ia berkata “Wahai Rasulullah kami sedang naik kapal di laut, sementara kami membawa sedikit perbekalan dan air, dan jika kami berwudhu dengannya kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah saw. menjawab,  “Air laut itu suci dan mensucikan, bangkainyapun halal”.
c.       Air Zamzam
       Merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Ali ra.,
Bahwasannya Rasulullah berdoa dengan membawa timba besar berisi air zamzam, kemudian beliau meminumnya dan berwudhu dengannya.”
d.      Air yang Berubah-ubah (Mutaghayyir)
       Air yang berubah-ubah karena terlalu lama mengendap atau dikarenakan lokasinya, atau karena tercampur sesuatu yang umumnya tidak dapat dipisahkan darinya, seperti enceng gondok dan daun pohon. Menurut kesepakatan ulama, air tersebut tetap masuk dalam kategori air mutlak.
e.       Air yang dipanaskan diterik matahari
       Air musyammas termasuk air suci yang dapat mensucikan tetapi hukumnya makruh apabila digunakan. Bejana (tempat menyimpan air) yang dimaksud disini adalah yang terbuat dari logam dan bukan emas.[2]
2.      Air yang suci tetapi tidak mensucikan (Air yang berubah karena benda suci)
       Air yang dimaksud ialah air yang salah satu sifatnya sudah berubah, misalnya bau, warna atau rasanya dengan perubahan yang banyak karena tercampur benda suci adalah air yang tercampur benda yang suci, misalnya tercampur sabun, minyak za’faran, dan air bunga mawar.  
3.      Air yang suci tetapi tidak mensucikan
       Air musta’mal adalah air yang menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi. Status hukum air tersebut suci seperti air mutlak. Status kesucian air musta’mal ditetapkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulullah saw. datang menjengukkuu ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri, kemudian beliau wudhu lalu meneteskan bekas air wudhunya kepadaku, kemudian aku sadar.”
       Air musta’mal tetap suci lagi mensucikan. Karena sejalan dengan asal-usul air tersebut dan adanya dalil yang menunjukkan bahwa air itu suci dan mensucikan. Ini adalah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf.[3]
4.      Air Mutanajis (Air yang bertemu dengan najis)
Apabila ada najis atau kotoran masuk ke dalam air mutlak dan bercampur menjadi satu, namun jumlah air tersebut sedikit (kurang dari dua kullah)  dan berubahlah salah satu sifat air tersebut (warna, rasa, bau)  maka air tersebut dihukumi air najis dan tidak sah lagi dipakai untuk berwudhu.
Akan tetapi apabila air tersebut kemasukan benda najis namun jumlah air yang ada lebih banyak (sekurang-kurangnya dua kullah atau lebih) dan najis yang jatuh tersebut tidak mengubah salah satu sifat air maka air tersebut tetap disebut air mutlak. Akan tetapi, kalau najis yang jatuh telah mengubah salah satu sifat air maka air tersebut dianggap sebagai air najis.[4]
Dua kullah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak, maka panjangnya 60 cm dan kedalaman/tingginya 60 cm.
   Berikut ini tambahan beberapa air yang dapat digunakan untuk bersuci maupun air yang tidak dapat digunakan untuk bersuci.
1.      Air sisa minum (Tsaur)
Para ulama sepakat bahwa air sisa minum kaum muslimin dan binatang suci. Semua air bekas minuman binatang adalah suci kecuali air bekas minum babi, anjing, binatang buas. Menurut pendapat Ibnu Qasim sisa air yang diminum seorang musyrikin adalah najis dan apabila ia peminum khamar air itu menjadi makruh. Sedangkan air bekas dijilat anjing hukumnya adalah najis. Dasarnya adalah hadits yang berbunyi,  “Apabila anjing menjilat bejana salah seorang diantara kamu, maka tuangkanlah air itu, dan hendaklah ia membasuh bejana itu sebanyak tujuh kali. Dan dalam salah satu sanad hadits disebutkan, yang pertama dengan tanah. Dalam riwayat lain disebutkan, gosoklah pada yang kedelapan kalinya dengan tanah”.(HR. Bukhari dan Muslim)
       Sedangkan air bekas sisa minum kucing dianggap tidak najis karena kucing adalah binatang yang jinak.[5] Dasarnya adalah hadits yang berbunyi “Bahwa Kabasyah menuangkan air wudhunya, lalu ada kucing yang datang hendak meneguk air. Lalu, Qatadah memiringkan bejana itu (menyilahkan) kepada kucing sampai kucing itu selesai minum. Lalu, Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Kucing itu tidak najis, karena kucing termasuk hewan yang mengelilingi kamu’.”(HR.Imam Muslim)


2.      Air bekas thaharah
Terdapat lima perbedaan ulama dalam hal status air bekas thaharah:[6]
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa air bekas thaharah adalah suci (pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi).
b. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa kaum lelaki tidak diperbolehkan bersuci menggunakan bekas bersucinya wanita, sedangkan wanita diperbolehkan menggunakan bekas bersucinya lelaki.
c. Sebagian lain lagi berpendapat bahwa lelaki diperbolehkan bersuci menggunakan bekas air bersuci wanita, selama wanita itu tidak sedang dalam keadaan hadats besar atau haid.
d. Sebagian ulama yang berpendapat bahwa laki-laki atau wanita tidak boleh bersuci menggunakan bekas air salah satunya, kecuali jika diantara mereka memulai  bersuci bersamaan.
e. Sebagian ulama yang berpendirian bahwa lelaki atau wanita, sama sekali tidak diperbolehkan bersuci dengan menggunakan bekas air salah satunya walaupun memulainya besamaan.
2. Syarat - Syarat Wajib Thaharah
Apabila badan, pakaian, ataupun suatu tempat terkena najis, maka ia wajib dibersihkan berdasarkan firman Allah SWT,
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ  
 "Dan bersihkanlah pakaianmu." (al-Mud- datstsir: 4)
1. Islam
2. Berakal
           Thaharah tidak diwajibkan bagi orang gila dan orang yang pingsan, kecuali jika mereka sudah siuman ketika waktu (shalat) masih ada. Adapun orang yang mabuk, tetap diwajibkan berthaharah.
3. Baligh
4. Berhentinya Darah Haid dan Nifas
5. Masuknya Waktu
6. Tidak Tidur
7. Tidak Lupa
8. Tidak Dipaksa
        Menurut ijma ulama, orang yang tertidur, orang yang terlupa, dan orang yang dipaksa, harus mengqadha shalat yang terlewat.
9. Ada Air atau Debu yang Suci
         Apabila kedua benda ini tidak ada, maka seseorang itu harus mendirikan shalat dan mengqadhanya setelah mendapati air atau debu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia tidak perlu mengqadha, dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ia tidak perlu shalat, tetapi wajib mengqadhanya. Perkara ini akan dibincangkan secara terperinci dalam pembahasan mengenai tayamum.
3.      Dasar/Sumber  Hukum Thaharah
Disyari’atkannya wudhu ditegaskan berdasarkan 3 macam alasan.
1.      Firman Allah dalam surat Al-Ma-idah ayat 6:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 ÇÏÈ  
Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu henclak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. “

2.      Sabda Rasulullah
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتّى يتوضّأ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu bila ia berhadats, sehingga ia berwudhu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


3.      Ijma’.
Telah terjalin kesepakatan kaum muslimin atas disyari’atkannya wudhu semenjak zaman Rasulullah hingga sekarang ini, sehingga tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama.
4.      Pengertian Shalat
Sabda nabi Muhammad Saw:
“Shalat itu adalah sendi agama,barang siapa mengerjakannya berarti ia telah menegakkan tiang agama.Dan barang siapa yang meninggalkan berarti ia telah merobohkan agama”
1.      Pengertian Shalat
Shalat  ialah berhadap hati kepada Allah sebagai ibadat, yang diwajibkan atas tiap-tiap orang islam.baik laki-laki maupun perempuan berupa perbuatan/perkataan dan berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun tertentu yang dimulai dengan “takbir” dan diakhiri dengan “salam”.
2.      Dalil yang mewajibkan shalat
Dalil yang mewajibkan shalat ada banyak,dalam kitab suci Al-Qur’an maupun dalam hadist Nabi Muhammad saw.
Dalil yang mewajibkan shalat antara lain :
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
Artinya:  dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku.
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ã3 ÇÍÎÈ  
Artinya: dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy shalat yaitu beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.
Khusyu’ menurut istilah syara’ adalah keadaan jiwa yang tenang dan tawadhu’ (rendah hati), yang kemudian pengaruh khusyu’ dihati tadi akan menjadi tampak pada anggota tubuh yang lainnya.  Sedang menurut A. Syafi’i khusyu’ adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk lahir dan batin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta’rifan) segala ucapan bentuk/sikap lahir itu. 5.Syarat Sah Shalat
Shalat tidak akan sah kecuali jika memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang wajib ada padanya serta menghindari hal-hal yang akan membatalkannya.
Adapun syarat-syaratnya ada sembilan:
1. Islam
2. Berakal
3. Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk)
4. Menghilangkan hadats
5. Menghilangkan najis
6. Menutup aurat
7. Masuknya waktu
 8. Menghadap kiblat
9. Niat.
6.  Rukun-Rukun Shalat
Rukun-rukun shalat ada empat belas:
1. Berdiri bagi yang mampu
2. Takbiiratul-Ihraam
3. Membaca Al-Fatihah
 4. Ruku’
5. I’tidal setelah ruku’
6. Sujud dengan anggota tubuh yang tujuh
7. Bangkit darinya
8. Duduk di antara dua sujud
9. Thuma’ninah (Tenang) dalam semua amalan
10. Tertib rukun-rukunnya
11. Tasyahhud Akhir
 12. Duduk untuk Tahiyyat Akhir
13. Shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
14. Salam dua kali.
7.  Hal-hal Yang  Wajib Dalam Shalat
1. Semua takbir, selain Takbiiratul Ihraam
2. Mengucapkan Sami’allaahu liman hamidah bagi imam dan yang shalat sendiri
3. Mengucapkan Rabbanaa walakal hamdu bagi semua
4. Mengucapkan Subhaana rabbiyal ‘azhiim saat ruku’
5. Mengucapkan Subhaana rabbiyal a’laa saat sujud
6. Mengucapkan Rabbighfirlii antara dua sujud
7. Membaca Tasyahhud awal
8. Duduk untuk tasyahhud awal.
Perbedaan antara rukun-rukun shalat dengan wajib-wajib shalat adalah kalau meninggalkan rukun-rukun shalat baik dengan sengaja ataupun lupa maka akan membatalkan shalat, sedangkan meninggalkan wajib-wajib shalat, jika ditinggalkan secara sengaja maka shalatnya batal, namun jika ditinggalkan karena lupa maka dia melakukan sujud sahwi (sujud karena lupa, sebagai gantinya)












PENUTUP

Kesimpulan
1.      Thaharah adalah bersih dari kotoran atau mensucikan diri
2.      Shalat adalah ibadah yang terdiri atas beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir yang diakhiri dengan salam
Agama Islam sangat memperhatikan masalah thararah karena dalam ilmu fiqih poin pertama yang dijumpai adalah masalah thaharah. Shalat, adalah tiang agama karena tanpa shalat berarti kita sama saja meruntuhkan agama. Ibarat rumah, kalau tidak ada tiangnya tentu akan runtuh.

Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua terutama kami sebagai pemakalah . Jika terdapat kesalahan harap dimaklumi, karena manusia tidak pernah luput dari kesalahan.















DAFTAR PUSTAKA


Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i (Buku 1 –Ibadah-),  Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Wasithu fi Fiqh Ibadah, terj. Kamran As’at Irsyady, Ahsan Taqwim, dan Al-Hakam Faishol, Fidih Ibadah, Jakarta: Amzah, 2009.
Rusyd, Ibnu,  Bidayatu’L Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah,  Semarang: Asy Syifa’, 1990.
Mz, Labib, Hadits Pilihan Shahih Bukhari, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2005.
http://www.contohmakalah.co.cc/2010/10/makalah-tentang-thaharah.html






       [1] Terj. Labib Mz, Hadits Pilihan Shahih Bukhari, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2005), hlm.71.
       [2] http://www.contohmakalah.co.cc/2010/10/makalah-tentang-thaharah.html tanggal 23 Mei 2011
       [3] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Wasithu fi Fiqh Ibadah, terj. Kamran As’at Irsyady, Ahsan Taqwim, dan Al-Hakam Faishol, Fidih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 15.
       [4] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i (Buku 1 –Ibadah-),  (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 35.
       [5] Ibnu Rusyd, Bidayatu’L Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang: Asy Syifa’, 1990), hlm. 55.
       [6] Ibnu Rusyd, Bidayatu’L Mujtahid..., hlm. 57-58.